Proyek bioremediasi merupakan kegiatan pemulihan lingkungan, bukan kegiatan perusakan lingkungan. Selain itu, proyek tersebut berjalan sebagai implementasi dari Undang-Undang (UU) Lingkungan.
“Makanya, aneh saja apabila kemudian seseorang dipidana karena membantu pemulihan lingkungan”, kata Najib Ali Gisymar, penasihat hukum terdakwa kasus proyek bioremediasi, Ricksy Prematuri di Jakarta, Kamis (20/2).
Najib juga menilai putusan majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang menperberat hukuman terhadap kliennya terkesan janggal karena sama sekali tidak memperhatikan berbagai persoalan yang telah dilakukan pada pengadilan di bawahnya. “Untuk itu, tim penasihat hukum akan menyarankan Ricksy mengajukan Peninjauan Kembali (PK) karena kami sejak awal yakin bahwa dia tidak melakukan tindak pidana apa pun.”, tegasnya.
Najib menambahkan kalau benar MA menghukum Ricksy lebih berat dengan penjara lima tahun, dia yakin bahwa majelis hakim MA tidak jeli dalam membaca pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan di bawahnya.
“Sebab, ada beberapa persoalan yang harus jeli dibaca majelis hakim, diantaranya putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam pertimbangannya seolah-olah menyatakan bahwa perusahaan Ricksy yakni Green Planet Indonesia (GPI), adalah pengolah limbah, padahal bukan. GPI adalah kontraktor sipil yang membantu PT Cevron Pasific Indonesia (CPI) dalam proyek bioremediasi. Jadi CPI-lah yang bertanggung jawab sebagai pengolah limbah.” jelas Najib.
Membantu CPI
Soal pelanggaran izin, lanjut Najib, sebenarnya pejabat KLH telah menjelaskan sebelumnya bahwa GPI tidak memerlukan izin karena hanya membantu pengerjaan dan CPI sebagai pihak yang bertanggung jawab telah mengantongi izin tersbut.
“Andaikata memang ada pelanggaran izin, berdasarkan peraturan di Indonesia, pelanggaran tersebut masuk pidana lingkungan, bukan pidana korupsi. Sesuai urutannya, sanksi pidana merupakan ultimate remedium apabila sanksi adminstrasi atau denda tidak memberikan efek jera.” tegas Najib.
Tuduhan melanggar Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 128 tahun 2003 tentang TPH tanah sebenarnya sudah terbantahkan karena bukti-bukti pelanggaran tidak pernah ada. Lebih dari itu, semua yang dilakukan GPI sudah sejalan sengan SOP CPI yang telah di verifikasi oleh ahli-ahli dari Lemigas, universitas, dan sudah seizin Kementrian Lingkungan Hidup (KLH).
Sumber: Koran Jakarta