Proses hukum kasus proyek bioremediasi Chevron sudah berlangsung lebih dari dua tahun dan saat ini telah memasuki tahap banding di Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA).
Selama itu pula pikiran Widodo, salah seorang tersangka dalam kasus ini, tak karuan.
“Terus terang saja, dua tahun ini rasanya seperti ratusan tahun,” katanya dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Dijadikannya sebagai tersangka dalam kasus korupsi tanpa kejelasan pelanggaran dan bukti-bukti hukumnya, menurutnya, telah menorehkan luka yang sangat dalam pada kehidupan keluarganya. Menurutnya sejak Maret 2012, bersama dengan empat rekannya di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan dua kontraktor, Widodo terseret menjadi pesakitan di meja hijau.
Masih sangat jelas dalam bayangan Widodo bahwa seharusnya di tahun 2015 nanti, dia bisa pensiun dengan tenang sambil memfokuskan diri pada kesehatan istrinya, berbahagia atas pernikahan anak pertamanya, serta menanti anak kedua dan ketiganya menyelesaikan pendidikan mereka.
“Bayangan indah itu sirna seketika. Setelah ditetapkan menjadi tersangka di bulan Maret 2012, maka pada 26 September 2012, saya ditahan atas tuduhan korupsi,” ujar Widodo.
Widodo mengenang bahwa pada pagi hari sebelum penahanannya ia sama sekali tidak menyangka akan ditahan. Walaupun dia dan rekan-rekannya telah dinyatakan sebagai tersangka, mereka yakin betul tidak bersalah. Apalagi, informasi mengenai status tersangka itu mereka dapatkan dari media, bukan surat resmi dari negara. Saat itu, menurutnya harapan masih terbuka lebar.
Widodo pun datang ke Kejaksaan Agung di Jakarta dari rumahnya di Minas, Riau, untuk memenuhi panggilan pemeriksaan pertama sebagai tersangka. Selama dirinya diperiksa, tak satupun hal yang ditanyakan mengindikasikan bahwa ada pelanggaran hukum yang dilakukannya. Namun tak disangka sama sekali oleh Widodo, setelah seharian menjalani pemeriksaan, malamnya, dia dan tiga rekannya di Chevron serta dua orang kontraktor harus mendekam di penjara.
Alasan jaksa saat itu, menurutnya, karena mereka berenam dikhawatirkan kabur. “Padahal, saya sendiri datang dengan pemikiran positif bahwa telah terjadi kesalahan dalam penetapan saya sebagai tersangka,” imbuhnya.
“Saya kaget sekali waktu ditahan. Kenapa ini? Kok bisa ke saya? Saya cuma karyawan lapangan, jelas-jelas tidak bersalah, saya tak punya wewenang soal proyek atau kontraknya dan tidak ada sangkut-pautnya,” katanya dengan suara getir, mengingat kejadian Rabu malam kelabu itu.
Tuduhan Yang Dipaksakan
Sampai sidang pembacaan vonis pada Juli 2013 lalu, tak satupun keterangan dan bukti yang mendukung tuduhan jaksa penuntut umum.
“Saya harus mengalami semua kepahitan ini untuk kasus yang dipaksakan. Fakta-fakta persidangan sudah membuktikan bahwa kami tidak bersalah. Bahkan dua dari lima hakim menyatakan kami tidak bersalah dan harus dibebaskan dari segala tuntutan,” katanya.
Widodo dituntut melakukan tindak pidana korupsi pada periode Januari 2008 sampai April 2012 dalam jabatannya selaku Team Manager IMS-REM. Padahal pada periode tersebut, jabatan Widodo adalah Construction Representative di Sumatera Light South (SLS) dan Team Leader Waste Management di Sumatera Light North (SLN).
“Ini saja sudah jelas keliru karena yang menduduki jabatan itu adalah atasan saya,” jelasnya.
Kedua hakim yang berbeda berpendapat menilai bahwa jaksa keliru dalam mempersalahkan Widodo. Tuntutan jaksa atas belum keluarnya izin pengelolaan bioremediasi kepada Widodo tidak memiliki dasar hukum dan Widodo sendiri telah melakukan tugasnya sebagai Team Leader Waste Management dengan memberikan laporan kepada atasannya.
Dalam keterangan kedua hakim, menurut Widodo, selain terbukti bahwa tidak ada niat jahat, Widodo pun tidak memiliki kewenangan untuk melakukan proses pengadaan proyek bioremediasi sehingga mustahil jika dia dinyatakan telah menyalahgunakan kewenangannya.
Masa sulit bagi istri dan keluarga, menurut Widodo, saat penahanan itu, bukan dirinya yang paling dikhawatirkannya tapi keluarganya. “Bagi saya, keluarga itu nomor satu. Waktu ditahan, yang saya pikirkan adalah istri saya. Kasihan dia,” ujarnya. Istrinya, Yati, sakit darah tinggi dan mengalami pembengkakan jantung. Widodo cemas tidak bisa menemani istrinya di saat dibutuhkan.
Namun demikian, Widodo sangat bersyukur. Meski tidak dalam kondisi prima, Yati terus memberikan dukungan penuh kepada suaminya tercinta. Saat kasus ini bergulir ke pra-peradilan—di mana penahanan Widodo dianggap tidak sah—tak ada satu sidang pun yang tidak Yati hadiri.
Persidangan di Pengadilan Tipikor bisa memakan waktu seharian, dari pagi hingga tengah malam, dari menunggu tersedianya ruangan hingga pembacaan putusan. Di tengah kesulitannya untuk duduk berjam-jam di kursi pengunjung, Yati tetap tak pernah jauh dari suaminya. Dia menguatkan diri agar keluarganya bisa melewati cobaan itu.
Bukan hanya kesehatan istrinya yang membuat Widodo sedih bukan kepalang. Karena jadwal persidangan di Jakarta begitu ketat, dia harus menerima nasib tidak bisa menemani putri pertamanya, Ika, mempersiapkan pernikahan pada Mei 2013 lalu.
Sumber: Beritasatu.com