Ada satu hal yang menarik yang saya temui selama berada di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sebuah bangunan beton berbentuk kubus yang ditutup dengan batu lebar dari jauh terlihat seperti sebuah meja.
Uniknya, bangunan setinggi kurang lebih 1,5 meter ini ada di setiap depan rumah, atau di samping rumah penduduk Sumba.
Awalnya saya tidak ingin tahu, tapi rasa ingin tahu saya menyeruak ingin dipuaskan. Saya pun bertanya kepada Romo Yustinus Guru Kedi yang duduk di samping saya dalam satu mobil saat kami sedang dalam perjalanan menuju Kota Wakaibubak. “Itu makam mbak.”, jawab Romo Yustin.
Jika di tempat lain, kuburan biasanya jauh dari rumah bahkan pemukiman, di Sumba berbeda sekali. Kuburan justru dibangun di halaman rumah.
Kuburan hanya memiliki satu desain, berbentuk kubus dengan penutup dari batu dan berjejer dengan rumah sang pemilik. Kalaupun ada perbedaan, hanya pada hiasan warna warni di dindingnya. “Dulu kuburan-kuburan itu dibuat dari batu yang dipotong, namun dalam perkembangannya, dibuat dengan batu bata , pasir dan semen, lalu penutupnya dibuat dengan cara di cor”, lanjut Romo Yustinus, pastor Kepala Seminari Sinar Buana, Weetebula, Sumba.
Tidak semua orang Sumba mampu membuat batu kubur besar ini, karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Puluhan ekor hewan dipotong, seperti ayam, anjing, babi, sapi dan kerbau selama menjalankan ritual adat, mulai dari pemotongan batu kubur, penarikan batu kubur hingga pengerjaan batu kubur. Jumlah hewan yang dikorbankan berkisar 50-an ekor. Ini belum terhitung ayam dan anjing.
Karena ritualnya yang memakan biaya dan tenaga yang besar, hanya keluarga bangsawan tertentu saja yang mampu melaksanakan prosesi kubur batu.
Seiring perjalanan waktu, tradisi budaya ini mulai bergeser. Dari yang tadinya kuburan dibuat dari batu potong asli kemudian beralih menjadi kuburan beton. Ini karena bahan pembuatan kuburan beton lebih mudah diperoleh seperti semen, besi beton dan pasir.
Secara ekonomis kuburan beton juga lebih ringan ketimbang menggunakan batu potong asli.
Alasan mengapa kuburan ini dibangun di dekat rumah mereka adalah supaya tetap dekat dan selalu ingat. Ini merupakan wujud rasa cinta mereka pada yang telah ‘pergi’.
Menariknya lagi ada beberapa keluarga yang menabung kuburan untuk dirinya dan keluarganya. “Ada umat yang bahkan menabung kuburan. Sejak divonis menderita kanker, dia mulai membangun kuburannya. Dia pilih ayat-ayat yang bagus dalam kitab suci untuk diukir di kuburannya” ujar Romo Yus. Akhirnya yang terjadi kuburan mereka jauh lebih bagus dibanding rumah tinggalnya.
Masyarakat Sumba hingga kini memang masih kuat memegang adat dan tradisi. Menurut Romo Yustin, di Sumba seluruh persoalan harus selesai secara adat dulu baru dibawa ke Gereja. RWD