Institute for Development of Economics and Finance (Indef) angkat bicara soal pembangunan salah satu mega proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Pelabuhan Cilamaya. Minimnya koordinasi dinilai sebagai salah satu penyebab permasalahan dari pembangunan tersebut.
Demikian disampaikan pakar ekonomi Indef, Enny Sri Hartati, melalui siaran persnya, di Jakarta, Rabu (3/9/2014). Sri menilai jika pembangunan tidak boleh hanya menguntungkan satu sektor dan mematikan sektor lain yang salah satunya adalah produksi migas di kawasan tersebut.
Beberapa kalangan menilai jika rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat itu bisa mematikan produksi minyak dan gas Blok ONWJ, yang merupakan produsen minyak terbesar keempat serta gas ketujuh di dalam negeri. Permasalahan tersebut bertambah ditengah kelangkaan pasokan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
“Ini tidak seharusnya di Cilamaya karena ada potensi minyak, itu yang seharusnya dikoordinasikan jauh-jauh hari,” tegas Enny.
Lebih lanjut, Enny menambahkan jika pemerintah diminta untuk konsisten dengan Rencana Umum Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang dulu dikenal dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), maka tidak akan terjadi ego sektoral seperti kasus di Cilamaya.
“Kalau di RUTR itu sangat potensial untuk eksplorasi minyak, mestinya tidak diganggu dengan kepentingan yang lain. Kan rencana pembangunan pelabuhan bisa dipindahkan,” tandasnya.
Enny menegaskan, pemerintah harus konsistensi terhadap RUTR/RTWW supaya tidak saling tumpang tindih. Terlebih sektor energi yang sangat menopang industri, dan sektor industri tentunya tidak boleh mematikan sektor itu. “Itu akibat ego sektoral yang harus dijauhkan untuk ke depan.
Di sisi lain, akademisi Universitas Pelita Harapan (UPH) Tjipta Lesmana, mensinyalir bahwa rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya merupakan proyek pesanan Jepang. Pasalnya, banyak pabrik automotif merek Jepang yang dibangun di kawasan Karawang, Jawa Barat, khususnya sekitar Cilamaya.
Pembangunan pelabuhan itu dinilai akan memudahkan pengiriman suku cadang dan hasil produksi. Menurutnya, sangat ironis jika pemerintah hanya mementingkan pembangunan pelabuhan tersebut demi melayani produsen automotif, terutama yang memproduksi kendaraan murah.
Sebab, maraknya mobil murah justru menambah kemacetan dan menyedot konsumsi BBM bersubsidi nasional.
“Ini kontradiktif sekali. Apakah ini kepentingan Jepang? Yang saya tahu, pabrik mobil merek Jepang ada di sana semua. Jadi butuh pelabuhan. Terlebih kalau konsultan perencanaannya Jepang,” ungkapnya.
Masalah BBM, kata Tjipta, adalah masalah yang sangat besar dan membuat Jokowi-JK pusing sekali. Untuk itu, produksi migas atau energi nasional harus diprioritaskan. sehingga lapangan Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang sudah beroperasi, tidak boleh ditutup hanya gara-gara memenuhi keinginan industri otomotif.
“Kan pelabuhan bisa digeser ke tempat lain. Kalau kandungan migas di perut bumi kan tidak bisa dipindah. Nggak bisa hanya demi kepentingan industri automotif, migas dikalahkan. Migas itu sangat vital bagi kita. Produksi atau lifting harus ditingkatkan, bukan malah dipotong. Nggak boleh itu,” pungkasnya.
Sumber: Metrotvnews.com