Rencana pembangunan pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat, diduga proyek pesanan Jepang. Pelabuhan itu disebut dibangun untuk mempermudah mengirimkan suku cadang dan hasil produksi mesin mobil dari Jepang.
Pakar ekonomi dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai pembangunan tidak boleh hanya menguntungkan satu sektor dan mematikan sektor lain. Sebelumnya, Menteri Perhubungan EE Mangindaan mengatakan studi kelayakan pelabuhan tersebut terhenti karena di sekitar lokasi terdapat jaringan pipa gas milik Pertamina.
“Ini tidak seharusnya di Cilamaya karena ada potensi minyak, itu yang seharusnya dikoordinasikan jauh-jauh hari,” kata Enny saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (3/9).
Enny menegaskan, jika pemerintah konsisten dengan Rencana Umum Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang dulu dikenal dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), maka tidak akan terjadi ego sektoral seperti kasus di Cilamaya.
“Kalau di RUTR itu sangat potensial untuk eksplorasi minyak, mestinya tidak diganggu dengan kepentingan yang lain (pelabuhan). Rencana pembangunan pelabuhan bisa dipindahkan,” sambungnya.
Pemerintah harusnya tetap konsistens terhadap RUTR/RTWW agar tidak saling tumpang tindih. Terlebih sektor energi yang sangat menopang industri, dan sektor industri tentunya tidak boleh mematikan sektor itu.
Sementara itu Akademisi Universitas Pelita Harapan, Tjipta Lesmana, menduga memang proyek pembangunan pelabuhan Cilamaya pesanan Jepang.
“Yang saya tahu, pabrik mobil merek Jepang ada di sana semua. Jadi butuh pelabuhan. Terlebih kalau konsultan perencanaannya Jepang,” duga Tjipta.
Disambung Tjipta, ada baiknya rencana pembuatan pelabuhan dibatalkan atau kalau perlu dipindahkan. Jangan sampai kepentingan industri otomotif mengorbankan produksi migas, dengan kata lain sumur Blok Offshore North West Java (ONWJ) milik PT Pertamina.
“Kan pelabuhan bisa digeser ke tempat lain. Kalau kandungan migas di perut bumi kan tidak bisa dipindah Tidak bisa hanya demi kepentingan industri otomotif, migas dikalahkan. Migas itu sangat vital bagi kita. Produksi atau lifting harus ditingkatkan, bukan malah dipotong,”cetusnya.
Saat ini, produksi minyak nasional masih dibawah angka kebutuhan dalam negeri. Yakni produksi hanya mencapai 800 ribuan barel per hari, sedangkan konsumsi mencapai 1,6 juta hingga 1,8 juta barel per hari.
Sumber: Rmol.co