KAMAR Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menolak rencana pembangunan Pelabuhan di Cilamaya, Kabupaten Karawang, Jawa barat. Proyek tersebut dinilai berdampak langsung terhadap sejumlah sumur minyak dan gas Blok Offshore North West Java (ONWJ).
Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto menilai, pembangunan pelabuhan di Cilamaya untuk melayani industri tertentu di kawasan tersebut tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Proyek tersebut akan menutup sumur eksplorasi minyak dan gas. “Saya tidak setuju jika dampaknya harus menutup sumur migas ONWJ,” ujar Suryo, Senin (8/9).
Menurut Suryo, pembangunan pelabuhan itu bisa diatur sehingga tidak perlu menggangu produksi minyak dan gas. Apalagi, energi merupakan hal terpenting di negara ini.
Terlebih lagi, Blok ONWJ merupakan penghasil minyak nomor empat nasional. Dengan kapasitas produksi mencapai 4.200 barel per hari. Sedangkan, produksi gas dari blok tersebut menduduki peringkat ketujuh nasional. Lantaran kondisi tersebut, Blok ONWJ dinilai tidak boleh ditutup hanya demi melayani produsen otomotif.
Suryo mengusulkan, sebaiknya pelabuhan itu dipindahkan ke tempat lain. Sebab, dengan penutupan produksi Blok ONWJ, migas beserta cadangannya yang sudah ditemukan di sana tidak bisa diproduksi serta dimanfaatkan.
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Energi dan Pertambangan Kadin Indonesia Poltak Sitanggang mengatakan, jika sampai produksi ONWJ ditutup, maka hal itu termasuk dalam kejahatan konstitusional terstruktur dan konstruktif. Sebab, langkah tersebut merugikan rakyat serta bangsa ini.
“Bila blok tersebut ditutup demi perusahaan otomotif itu, dipastikan Indonesia akan semakin banyak menambah kuota impor minyak,” ujarnya.
Poltak mengakui, yang menjadi persoalan sebenarnya bukan hanya membangun pelabuhan yang akan menghentikan produksi minyak dan gas di Cilamaya. Tetapi, ada upaya terstruktur membuat negara ini menjadi importir minyak.
Padahal, Indonesia masih mempunyai sekitar 124 cekungan dan cadangan minyak. Cadangan terukur itu mencapai 9,3 miliar barel. Sejak 1960, produksi migas Indonesia saat itu masih 1,7 juta sampai 1,8 juta barel per hari.
Sekarang ini, produksi minyak bahkan mengalami penurunan dari 900 menjadi 800 ribu barel per hari. Artinya, ada 900 ribu barel yang harus diimpor per harinya. “Impor minyak ini, merupakan kerjaan mafia migas yang telah terstruktur agar Indonesia tetap menjadi importir abadi,” ungkap Poltak.
Sumber: Republika.com
Sumber Foto: Teropongbisnis.com