KETUA Ikatan Umum Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari menegaskan, pemerintah hendaknya memprioritaskan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Cilamaya. Setelah habis kandungan migasnya, barulah lokasi itu boleh dibangun pelabuhan.
“Untuk menghabiskan cadangan migas tersebut, tidak perlu waktu lama. Setelah cadangan migasnya habis, maka dapat dibangun pelabuhan yang akan dimanfaatkan selamanya,” kata Rovicky di Jakarta, Selasa (16/9).
Dikatakan, jika pemerintah memaksa untuk membangun Pelabuhan Cilamaya, proses eksplorasi tetap dapat dilakukan, namun menimbulkan biaya sangat tinggi untuk meningkatkan faktor keamanan dan kenyamanan. Hal itu akan mengurangi pendapatan pemerintah dari hasil migas.
Menurut dia, hal yang paling tepat dilakukan pemerintah adalah melanjutkan eksplorasi migas di lepas pantai Karawang tanpa terganggu. Sebab, hal itu tidak akan memakan waktu lama. Setelah selesai eksplorasi, bari dilakukan reklamasi. Sehingga, pembangunan pelabuhan dapat segera dilakukan. “Pemerintah harus tegas dan segera mengambil langkah tepat dengan melakukan eksplorasi,” ujarnya.
Menurut dia, menggeser lokasi pelabuhan sekitar 3 km dari lokasi semula juga tidak ada artinya. Pasalnya, kandungan migas di utara Jawa Barat itu ada di area yang luas, sehingga jaringan pipa penyaluran migas juga merata di utara Karawang.
Memindahkan pipa, kata Rovicky, bukan solusi. Apalagi di area tersebut terdapat pula sumur-sumur migas yang masih berproduksi, anjungan-anjungan lepas pantai yang aktif beroperasi, dan potensi migas untuk masa depan.
Jadi, lanjutnya, tidak ada gunanya memindahkan pipa jika kandungan migas ada di lokasi itu.
Hal senada dikatakan Vice President Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah. Menurut dia, untuk melakukan eksplorasi di suatu wilayah, tidak boleh ada proyek lain dengan aktifitas padat di lokasi tersebut. Seperti kasus Cilamaya, menurut dia untuk melakukan eksplorasi di wilayah tersebut, maka pemerintah tidak boleh mambangun pelabuhan. Jika dipaksakan, maka akan sangat berbahaya.
“Jangankan pelabuhan, ketika melakukan eksplorasi, satu rumah sederhanapun tidak boleh ada,” kata dia.
Sammy mengingatkan, kalau pemerintah memaksa untuk membangun Pelabuhan Cilamaya, maka potensi kerugian yang akan dialami pemerintah sangat besar. Sebab, Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) yang berlokasi di Pelabuhan Cilamaya, Karawang Karawang, Jawa Barat, terancam ditutup.
Jika Blok ONWJ ditutup, negara berpotensi kehilangan pendapatan Rp 20 triliun per tahun. Perhitungan itu menggunakan asumsi produksi ONWJ sekitar 40.000 barel per hari (bph) dan harga minyak dunia US$ 100 per barel. ONWJ merupakan tulang punggung untuk mendongkrak produksi migas Pertamina dalam 30 tahun ke depan.
Selain ONWJ, lapangan yang dikelola Pertamina EP yang juga berlokasi tidak jauh dari Cilamaya juga menjadi tulang punggung Pertamina. Bisa dibayangkan, betapa besar pengrobanan dari hilangnya potensi pendapat negara akibat pembangunan Pelabuhan yang memprioritaskan investor Jepang itu.
Sebelumnya, pengamat ekonomi dan kebijakan publik Ichsanudin Noorsy mengungkapkan, masalah dalam proyek pembangunan Pelabuhan Cilamaya terjadi karena pemerintah tidak mencermati kajian awal Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
“Misalnya posisi pelabuhan yang kurang tepat karena kedalaman laut yang kurang mendukung. Sekarang timbul persoalan lain mengenai masalah produksi minyak di lokasi,”katanya.
Sumber: Beritasatu.com