PElAKU politik uang (money politic) dalam pemilihan umum legislatif dan eksekutif harus mendapat hukuman berat, agar demokrasi Indonesia melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang amanah dan tidak korupsi.
Demikian pandangan Ali Nurdin, dalam sidang promosi doktor bidang Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Jumat (19/9). Sidang itu dipimpin Prof Dr Mahfud Arifin, dihadiri Prof Dr Rusadi Kantaprawira (Ketua Promotor), Prof Oekan S Abdoellah, PhD (Anggota Promotor), Dr Arry Bainus (Anggota Promotor), Prof Dr Dede Mariana (Penguji), Dr Budhi Gunawan (Penguji), dan Dr Yadi Supriyadi (Penguji).
Ali, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (19/9), mengatakan bahwa sejauh ini larangan dan saksi hukum atas money politic belum dilakukan secara tegas. Larangan tersebut baru berlaku terhadap kandidat pemilu atau tim suksesnya, sedangkan penerima uang politik tidak akan terkena hukuman apa pun.
“Harusnya politik uang disamakan dengan suap, di mana, baik pemberi mapun penerima dapat terkena hukuman,” tandasnya.
Dalam disertasinya yang berjudul “Politik Uang dan Perilaku Memilih di Kabupaten Pandeglang, Banten”, Ali menyimpulkan, pemberian uang atau materi kepada pemilih berpengaruh signifikan dalam mengubah preferensi pemilih, sehingga memilih kandidat yang memberikan politik uang.
“Sebanyak 98 persen penerima politik uang di Pandeglang, ternyata memilih kandidat yang memberi uang atau barang kepada pemilih yang bersangkutan,” ungkapnya.
Praktik politik uang menjadi salah satu penyebab buruknya kualitas dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia, karena menghilangkan elemen penting dari demokrasi, yakni prinsip keadilan dan obyektivitas. Dalam situasi tersebut, maka pemilihan langsung hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang hanya bermodalkan uang, namun miskin pengalaman dan prestasi.
“Itu namanya kleptokrasi, pemerintahan orang-orang berduit, atau money-talk-krasi,” tandas Chief Executive Officer(CEO) Strategy Consulting ini.
Dalam penelitiannya Dr Ali Nurdin yang juga dosen di Universitas Mathla’ul Anwar Banten itu, menemukan, bahwa para pemilih sesungguhnya mengetahui praktik politik uang adalah hal yang dilarang. Namun karena dianggap sudah menjadi kebiasaan dan tidak ada larangan yang tegas, maka pemilih tetap mau menerima tawaran uang atau barang seperti sembako, pakaian, dan bahan bangunan yang ditawarkan oleh kandidat legislatif dan eksekutif atau tim suksesnya.
“Jika ada sanksi hukum bagi menerima politik uang, pemilih pasti akan berpikir dua kali sebelum menerima politik uang,” katanya.
Praktik politik uang yang terjadi secara luas dalam setiap pemilu dan pemilukada menghasilkan pemilih yang tidak loyal dan terbelah (split-voter). Loyalitas pemilih terhadap kandidat pemilu dapat terbangun dari faktor-faktor sosiologis, seperti kesamaan asal daerah, suku, agama, dan sebagainya.
Kemudian faktor-faktor sosial-psikologis, seperti identifikasi kepartaian, perasaan senasib, popularitas kandidat, dan lainnya, atau dari faktor-faktor yang rasional-obyektif, seperti track record dan pengalaman kandidat).
Politik uang membuat pemilih hanya mempertimbangkan faktor keuntungan pribadi dan mengabaikan faktor-faktor lainnya dari kandidat. “Karena itu, pemilukada menjadi sangat cair, tergantung siapa yang paling banyak logistiknya,” ujar Ali.
Pemilih yang terbelah (split-voter), imbuhnya, adalah pemilih yang sesungguhnya tahu bahwa politik uang itu dilarang, namun tetap menerimanya manakala mendapatkan tawaran politik uang dari kandidat atau tim suksesnya. Pemilih seperti itu dapat dikatakan tidak memiliki integritas yang baik, karena dia bertindak tidak sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan yang dimilikinya.
“Pemilih yang tidak memiliki integritas akan melahirkan sistem demokrasi yang juga tidak memiliki integritas,” tandas Ali.
Selain mensaksi tegas penerima politik uang, sanksi terhadap pemberi politik uang juga harus diperberat, baik itu dilakukan oleh kandidat langsung maupun oleh tim suksesnya. Secara aturan, sebetulnya kandidat yang terbukti melakukan politik uang dapat didiskualifikasi dari pencalonan.
Namun, imbuhnya, pembuktikan kasus politik uang ini harus menempuh jalan yang sangat panjang, sehingga pada praktiknya sanksi pembatalan pencalonan tidak bisa dieksekusi. Politik uang harus dianggap tindakan kriminal, di mana pelakuknya diancam hukuman berat.
Menurutnya, penguatan aturan larangan politik uang tersebut memiliki momentum yang tepat, sejalan dengan pembahasan RUU Pilkada. “Kalau pemerintah dan DPR serius ingin meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia, ini saatnya memperjelas rambu-rambu hukum mengenai politik uang,” tandas promovendus Ali Nurdin yang lulus sebagai doktor Ilmu Politik di Unpad dan meraih cum laude (lulus dengan pujian).