SEBUAH konflik harus dikelola dengan baik, tujuannya untuk mengurangi, memperkecil bahkan menghilangkan dampak negatif yang dapat memperkeruh suasana, memperburuk jalinan kerjasama, merusak sarana dan prasarana, menurunkan etos kerja, bahkan menghancurkan pribadi maupun komunitas.
“Sebuah konflik dikatakan telah dikelola dengan baik apabila semua pihak yang terlibat dapat saling menghargai yang diwujudkan dalam pilihan kata dan tindakan yang santun dan tidak emosional,” ujar Dosen Program Studi Sistem Informasi Universitas kristen Duta Wacana Budi Sutedjo Dharma Oetomo dalam workshop bertema ‘Workplace Conflic Management and Public Speaking Skill’ yang digagas oleh Komisi Komunikasi Sosial dan Komisi Seminari KWI di Yogyakarta, Kamis (23/9/2014).
Agar konflik dapat diselesaikan dengan cara yang tepat, berikut langkah yang bisa dilakukan menurut Budi:
1. Libatkan diri dalam proses penyelesaian.
2. Memisahkan pihak-pihak yang memiliki potensi konflik, agar kemungkinan timbulnya konflik dapat dikurangi.
3. Mendengarkan dengan seksama semua pihak yang terlibat konflik.
4. Menjelaskan dengan rinci inti konflik, tanpa terkesan bertele-tele
5. Menanggapi secara proporsional dan tidak emosional.
6. Memantau pelaksanaan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama.
Dengan melakukan hal-hal tersebut, diharapkan komunitas maupun individu yang terlibat konflik tidak lagi saling bermusuhan, merasa puas atas keputusan bersama, serta mendapat pembelajaran dari konflik yang mereka hadapi.
Konflik yang terjadi di dalam komunitas misalnya, konflik antara romo rektor dengan anak didik, anak didik dengan anak didik, dan sebagainya tentu sering terjadi. Ini terjadi karena masing-masing memiliki karakter yang berbeda tapi dipaksakan untuk hidup bersama di dalam satu komunitas.
Menurut Budi, perlu sikap dan tindakan yang tepat dalam mengelola konflik seperti selalu berpandangan positif, perasaan positif, beritikad baik, berperilaku konstruktif, logis, dan sistematis.
“Jika keliru mengelola konflik maka akan sangat berbahaya”, tegasnya. Cara-cara seperti mengancam pihak lawan dan menggiring pada kondisi terpaksa menerima, memohon belas kasih dengan alasan-alasan luhur, menunda-nunda penyelesaian dengan harapan konflik itu akan hilang dengan sendirinya adalah cara-cara yang keliru, tegas Budi.
Sedangkan untuk mengatasi konflik yang diekspos oleh media, butuh penanganan yang sedikit berbeda. Penanganan ini kerap disebut dengan istilah manajemen krisis. Komunitas perlu memilih juru bicara yang akan menjelaskan kepada media mengenai konflik yang sedang dialami oleh komunitas terkait.