Konflik bisa dialami siapa saja, baik itu pribadi maupun organisasi. Jika diatasi dengan tepat, konflik dapat memberikan efek konstruktif yang berdampak positif pada organisasi terkait.
Namun sebaliknya, jika konflik tidak dikelola dengan baik, hal tersebut dapat memberikan efek destruktif kepada organisasi tersebut.
Oleh karena itu, sebelum seseorang melakukan tindakan untuk menyelesaikan atau mengelola konflik, perlu dilakukan pemetaan konflik terlebih dahulu.
“Pemetaan konflik ini penting dilakukan agar konflik yang kompleks dapat dipahami, diurai dan dikelola dengan baik dan resolusi dapat dirumuskan dengan tepat,”ujar Dosen Program Studi Sistem Informasi Universitas kristen Duta Wacana, Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom.,MM. dalam workshop bertema “Workplace Conflic Management and Public Speaking Skill” yang digagas oleh Komisi Komunikasi Sosial dan Komisi Seminari KWI di Yogyakarta, Rabu (23/9/2014).
Menurut Budi, tidak mudah memetakan konflik, apalagi bila konflik itu kompleks masalahnya. Kesulitan itu terutama karena persepsi tentang konflik dari yang memetakan dengan yang terlibat belum tentu sama.
Untuk menyamakan persepsi, si pemeta konflik akan berhadapan dengan fenomena ‘gunung es’. Jadi, butuh waktu untuk mengenali hal-hal yang tidak tampak secara langsung.
“Semboyan pengalaman adalah guru yang terbaik belum tentu dapat diterapkan dalam konteks pemetaan konflik,”ujar Budi.
Dalam hal ini, kata Budi setiap mediator atau negosiator sebaiknya tidak merasa sudah sangat memahami konflik yang akan ditangani. Setiap konflik sekalipun mirip dan pelaku yang terlibat sama tetap memiliki keunikan tersendiri.
Keunikan itu tercipta dari esensi konflik, sudut pandang, maksud dan tujuan, emosi atau rasionalitas pihak-pihak yang terlibat waktu itu, juga waktu dan tempat timbulnya konflik.
“Karena itu, mediator atau negosiator jangan hanya mengandalkan pengalaman semata. Mediator harus tetap jeli mengenali dan memetakan konflik,”terang Budi.
Umumnya, penyamaan persepsi tidak hanya dibutuhkan oleh internal organisasi semata. Persepsi ini juga perlu disamakan terhadap pihak-pihak yang berkaitan, seperti media misalnya.
Mengapa media? Karena media memiliki tugas untuk menyampaikan informasi terhadap perusahaan. Oleh karena itu, informasi yang akurat mengenai konflik terkait sangat lah dibutuhkan.
Untuk menyamakan persepsi dengan media diperlukan strategi khusus dan juga pemilihan tokoh yang mewakili organisasi sebagai juru bicara.