MENYELAM di kedalaman laut ‘perawan’ tidak perlu jauh dari Jakarta. Di utara Indramayu, tiga jam perjalanan dari ibukota, Pulau Biawak menyajikan menu menyelam yang fantastik. Jurnalis Diver dan Pertamina menggelar aksi menyelam sambil menanam terumbu karang dan pencarian dive spot baru di pulau yang dihuni spesies endemik, biawak. Berikut catatan perjalanan selama 3 hari dua malam di sisi timur kilang minyak dan gas ONWJ itu.
———–
Lokomotif sepur kelas eksekutif bergerak perlahan meninggalkan stasiun Gambir menembus kabut dini hari, pada Jumat, 5 September 2014, lalu. Jesss… Jesss… Jesss… Kereta pagi yang terdiri dari 6 gerbong itu melaju di jalur Pantura menuju Indramayu. Di salah satu gerbong, sekelompok jurnalis penyelam melanjutkan tidurnya yang tertunda.

Tak sampe tiga jam, roda kereta sudah menjejak stasiun Jatibarang, Indramayu. Di depan stasiun sudah menunggu minibus yang bertugas mengangkut para jurnalis itu ke pelabuhan Karangsong, untuk melanjutkan perjalanan dengan boat (kapal cepat) milik Polair dan Dinas Pariwisata Indramayu, menuju Pulau Biawak. Mereka bersiap menyelam di Pulau eksotik yang berlokasi tak jauh dari ibukota negara itu.
Pulau Biawak, yang terletak di utara Indramayu, ditempuh sekitar 2 jam perjalanan dengan kapal cepat, atau 4 jam dengan kapal kayu milik nelayan. Lantaran tidak ada kapal penumpang dengan trayek umum, maka para pengunjung Pulau Biawak harus menyewa kapal dengan tarif sekitar 1 hingga 2 juta Rupiah per hari.
Bukan hanya sekedar menyelam, rombongan jurnalis yang berjumlah sekitar 30 orang itu membawa misi mulia: Menanam terumbu karang dan mencari dive spot baru. Acara bertajuk “Peduli Ekosistem Laut” itu digelar oleh komunitas Jurnalis Diver (JD) bekerjasama dengan Pertamina. Kebetulan, kilang minyak dan gas lepas pantai Pertamina (ONWJ, offshore north west Java) berada tak jauh dari lokasi tersebut.
Sebagai perusahaan migas plat merah, Pertamina berkewajiban melestarikan lingkungan di sekitar kilang. Dalam rangka itulah Pertamina terpanggil untuk aktif dalam kegiatan penanaman terumbu karang baru, untuk menggantikan terumbu karang yang rusak akibat berbagai aktifitas manusia, termasuk pengeboman ikan. Tak hanya menjadi sponsor, Pertamina juga mengirimkan para penyelam yang tergabung dalam Pertamina Diving Club (PDC).
Kawasan Konservasi
Dengan luas daratan 742 hektar yang sebagian besar terdiri dari hutan bakau, Pulau Biawak menjadi kawasan konservasi endemik burung-burung liar dan beberapa hewan serta biota sekitar pantai. Sesuai namanya, di pulau ini banyak terdapat biawak (Varanus salvator) dari yang berukuran sedang sampai berukuran besar, berkeliaran di sepanjang pantai.
Biawak yang merupakan satwa endemik pulau ini memiliki penciuman yang tajam. Jika dipancing dengan meletakkan ikan di dermaga, beberapa biawak langsung berdatangan. Mereka tidak takut terhadap manusia. Karena itu, kami perlu mewaspadai sabetan ekor biawak tersebut. Biawak termasuk satu keluarga dengan komodo. Hanya saja, ukuran biawak lebih kecil dibandingkan komodo. Hewan ini pemakan segala, alias omnivora. Bisa ikan, kodok, atau juga serangga.
Selain disebut Pulau Biawak, pulau ini juga biasa dikenal dengan sebutan Pulau Rakid atau Pulau Byompis. Kepulauan Biawak sebenarnya terdiri dari 3 kepulauan besar, yakni Pulau Gosong, Pulau Candikian, dan Pulau Biawak itu sendiri. Selain sebagai kawasan konservasi, Pulau Biawak juga merupakan pulau yang penting bagi jalur pelayaran domestik, karena ada menara mercusuar peninggalan Belanda yang masih aktif memandu kapal-kapal besar dan kecil hingga saat ini.
Mercusuar inilah yang menjadi ikon kedua pulau ini, setelah si hewan melata, biawak. Mercusuar menjadi penanda yang paling terlihat saat berada di laut lepas, dan menjadi pemandu menuju Pulau Biawak. Bangunan peninggalan Belanda itu didirikan pada 1872. Menara setinggi 65 meter ini memang sengaja dibangun atas perintah Raja Z.M. Willem III sebagai penunjuk jalan dan pengatur lalu lintas air di sekitar wilayah Karesidenan Cirebon.
Jika biasanya badan mercusuar terbuat dari batu bata, mercusuar di Pulau Biawak ini terbuat dari besi yang sebagian sudah tampak berkarat. Kesan mistis langsung menyergap tatkala memasuki mercusuar dan mendaki hingga puncak. Badan mercusuar seolah dilindungi oleh besi-besi yang mirip jaring laba-laba, dimulai dari bagian kaki mercusuar, yaitu tempat pintu masuk berada, sampai puncak mercusuar, tempat lampu suar biasanya berputar menerangi perairan sekitar.
Untuk menuju ke tempat lampu suar, tangganya hanya berupa bilah besi tipis, yang jumlahnya sekitar 300 anak tangga. Di puncaknya, kita bisa memandang keindahan seputar pulau lewat jendela. Sore itu, tampak langit yang berwarna oranye di cakrawala. Beranjak ke teras menara suar yang hanya selebar sekitar 80 cm, tampak dermaga dan view sebagian Pulau Biawak yang kehijauan, menyejukkan mata. Perpaduan antara hutan pohon bakau dan pinus. Ketika matahari beranjak ke perpaduan, warna hijau dan oranye di horizon membuat takjub.
Menara mercusuar itu tak berdiri sendiri. Ada bangunan yang menjadi mess Kementerian Perhubungan dan empat homestay plus satu ruangan penyimpan genset listrik. Tepat di ujung kanan kawasan mess itu, tinggallah Subur Sudirman, teknisi mercu suar. Pria 56 tahun ini mulai menjejakkan kaki di Pulau Biawak pada 1993. Setelah menetap selama beberapa bulan, dia meninggalkan tempat itu, namun kembali lagi untuk yang keempat kalinya. “Sekarang sudah enak, tidak perlu naik ke atas untuk menyalakan lampu,” katanya.

Pada tahun-tahun awal ditugaskan di sana, Subur harus naik ke atas menara untuk menyalakan lampu mercusuar. Kini pekerjaan itu tidak perlu dilakukan, karena lampu di mercusuar menggunakan panel surya. “Lampu menyala otomatis saat gelap. Paling seminggu sekali saya naik untuk bersih-bersih,” kata Subur. Di usianya yang lebih dari separuh abad, naik ke menara setinggi 55 meter itu cukup menguras tenaga.
Aksi Jurnalis Diver dan Pertamina
Hari kedua perjalanan, saatnya menyelam. Berbagai peralatan selam sudah disiapkan tim JD sehari sebelum kedatangan rombongan. Tak sekedar menyelam, kali ini para divers ditugasi menanam seribu terumbu karang.
Sebelumnya, Cak Choirul selaku dive master JD sudah melakukan pencarian “Dive Spot Pertamina” yang bakal menjadi lokasi penanaman terumbu karang. Tim kemudian dibagi menjadi tiga kelompok, lalu masing-masing menuju titik yang telah ditentukan.
Tepat pukul 11 siang, aksi tanam seribu karang pun dimulai. Masing-masing kelompok berlomba menyelesaikan tugas sembari menikmati keindahan bawah laut di sisi barat daya Pulau.
Ternyata, tidak gampang menanam terumbu karang. Pasalnya, adukan semen yang sudah dicampur air dan garam sebagai media perekat, gampang buyar oleh hempasan air. Seperti yang dialami Gusnida dari PDC. Tak sampai lima detik, adukan semen itu sudah berbaur dengan air laut. Padahal Gusnida ingin menyuntik semen itu sebagai lem untuk terumbu karang. “Harus cepet banget,” kata perempuan 50 tahun itu.
Setelah mendapatkan momen yang pas, Gusnida pun berhasil menanam terumbu karang di kedalaman delapan meter di bawah permukaan laut. “Itu pengalaman pertama dan heroik sekali. Saya selalu mengucap bismilah ketika menanam terumbu, Ya Allah semoga tumbuh,” ujar perempuan berjilbab itu.
Sebanyak seribu set terumbu karang berbagai jenis ditancapkan di dua lokasi yang berbeda, di sekitar kepulauan Biawak. Menurut Gusnida, pada penanaman awal sempat agak kacau. Untuk menanam perlu dua orang penyelam yang baku tolong, satu menyemprot semen dan satu lagi yang menempel terumbu. Namun karena tidak semua penyelam yang terlibat sudah mahir, maka di bawah laut justru terjadi kebingungan. Siapa yang menempel dan menyemprot semen. Padahal ketika di atas, sudah dibagi tiga kelompok, masing-masing beranggotakan delapan penyelam. Walhasil, masih ada terumbu tersisa dan dihabiskan untuk penyelaman kedua.
Menanam terumbu, kata Gusnida, perlu memastikan bahwa area di bawahnya bebas tanaman laut. Lantaran semen tidak akan menempel dan terumbu karang akan lepas. Pada penanaman kali kedua, perempuan yang mengambil sertifikat selam 6 bulan lalu itu memilih menyelipkan terumbu di sela-sela karang. Ternyata, di momen kedua ini dengan penyelam yang lebih sedikit, yaitu hanya 12 orang, justru penanaman jadi lebih cepat dan lebih teratur.
Menurut pegiat terumbu karang Leonas Chatim yang turut serta dalam kegiatan tersebut, sebenarnya tidak perlu kedalaman tertentu untuk menanam rumah para ikan ini. “Terumbu karang bisa tumbuh di kedalaman laut mana saja,” kata pria yang pernah menjadi konsultan konservasi terumbu karang selama 11 tahun ini. Ia menambahkan, selama nutrisi tercukupi dari lingkungan, terumbu mudah tumbuh. Di tepian pantai maupun di kedalaman laut.
Model penanamannya bisa bermacam-macam. Ada yang membuat kerangka besi sebagai pelindung terumbu biakan. Ada pula yang sebatas menanam terumbu biakan, seperti yang dilakukan para penyelam di kepulauan Biawak. “Asal mataharinya cukup, insyaAllah bisa tumbuh,” timpal Akhmal Yusmar, Ketua JD. Apalagi terumbu yang ditanam adalah jenis terumbu keras yang memiliki sifat cepat tumbuh.
Namun, Akhmal menegaskan, yang terpenting bukan transplantasi terumbu karang. “Tapi kesadaran masyarakat untuk peduli ekosistem laut,” katanya. Pasalnya, terumbu karang sebagai rumah ikan ini rentan rusak karena pijakan kaki, patah karena jangkar, dan tergerus oleh mesin.
Ia manambahkan, Indonesia didapuik sebagai negara pusat sebaran terumbu karang terbesar kedua di dunia. Sayangnya, terumbu karang di lautan Nusantara banyak yang rusak. Sekitar 33 persen rusak berat, 37 persen rusak ringan dan ganya 30 persen yang masih dalam kondisi baik. HERU