PENGAMAT ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Dahnil Azhar Simanjuntak, mengatakan, pemerintah harus konsisten dengan komitmennya menjadikan sektor minyak dan gas bumi (migas) sebagai obyek vital nasonal, ketimbang membangun Pelabuhan Cilamaya demi melayani investor otomotif asal luar negeri yang akan mengancam produksi migas Blok Offshore North West Java (ONWJ).
“Saya pikir, sektor energi lebih strategis ketimbang desakan asing itu, investor untuk ke daerah distribusi kendaraan. Saya pikir lebih strategis mempersiapkan cadangan energi kita,” kata Dahnil, di Jakarta, Senin (13/10).
Pemerintah harus bersikap tegas jika kemudian hasil kajian rencana pembangunan pelabuhan tersebut akan mengganggu pengembangan dan produksi migas nasional yang telah ditetapkan sebagai sektor strategis nasional.
“Pemerintah tegas saja, apabila berdasarkan kajian kemudian keberadaan pelabuhan mengganggu pengembangan sektor migas tadi. Saya pikir bisa saja dibatalkan atau ditunda. Apalagi ini sektor yang berkaitan energi,” tegasnya.
Sesuai dengan ketentuan, kata Dahnil, harusnya pemerintah mengedepankan sektor migas yang telah ditetapkan sebagai sektor strategis nasional, agar Blok ONWJ tetap fokus memproduksi migas demi ketahanan energi nasional.
“Lebih dulu yang dikembangkan adalah sektor strategis saja dulu yang barkaitan dengan migas (energi). Saya pikir wajar saja dan biasa. Jadi, pertimbangkan untuk menunda atau membatalkan Pelabuhan Cilamaya agar kawasan itu tetap fokus pada pengembangan eksplorasi migas dan energi lainnya, adalah tindakan wajar,” ujarnya.
Terlebih, Blok ONWJ yang merupakan wilayah operasi Pertamina Hulu Energi (PHE ONWJ) yang tidak bisa diganggu, karena merupakan daerah terlarang dan terbatas (DTT) sesuai keputusan Direktorat Jenderal Migas No.6661/1803/DMT/2009, tanggal 7 April 2009, sebagaimana surat rekomendasi Ditjen Perhubungan Laut No.NA.703/01/02/00.09, tanggal 14 Januari 2009.
Selain itu, PHE ONWJ juga ditetapkan sebagai Obyek Vital Nasional (Obvitnas) berdasarkan keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 3107K/07/MEM/2012, seperti diatur Keputusan Presiden (Kepres) No 63 Tahun 2001.
Munculnya rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya, kata Dahnil, merupakan wujud ketidakkonsistenan pemerintah. “Hal yang kerap terjadi di pemerintahan, meski satu wilayah sudah ditetapkan menjadi kawasan terlarang, ujug-ujug’ ada tata ruang baru yang menyatakan kawasan itu bisa dibangun. Ini sering terjadi, seperti masalah hutan lindung, ternyata diberikan izin untuk hutan produksi. Saya pikir, ini lemahnya birokrasi kita dalam melakukan tata kelola perecanaan dan perizinan,” ujarnya.
Jadi, kata dia, pemerintah harus meprioritaskan kepentingan sektor strategis dalam negeri, ketimbang melayani investor asing yang tentunya hanya menguntungkan negara lain.
“Investasi yang lebih strategis harus tetap di tangan kita. Jangan kemudian karena ingin mengakselerasi pertumbuhan ekonomi atau biasanya birokrasi ingin mengakomodasi ekonomi mereka (asing), mereka tidak bisa seenaknya juga. Itu yang harus kita hindari. Praktek-praktek suap seperti itu yang selama ini mengganggu proses perizinan dan strategi pembangunan,” tegasnya.
Sebelumnya, Rovicky Dwi Putrohari, Ketua Ikatan Umum Ahli Geologi Indonesia (IAGI), menyatakan pemindahan lokasi pelabuhan sejauh 3 kilometer dari rencana awal bukanlah solusi, karena tetap akan mengganggu produksi migas.
Pasalnya, kandungan migas di utara Jawa Barat, itu ada di area yang luas, sehingga jaringan pipa penyaluran migas juga merata di utara Karawang, serta sistem PHE dan EP sudah terintegrasi atau satu kesatuan yang jika satu terganggu, maka semuanya akan bermasalah.
Blok ONWJ merupakan produsen minyak terbesar keempat nasional dan produksinya terus meningkat, bahkan sampai tembus 40.600 barel per hari. Adapun produksi gas buminya, peringkat 7 nasional yang juga mensuplai sektor vital, yakni memasok pembangkit listrik Tanjung Priok dan Muara Karang, PT Pupuk Kujang, TransJakarta, serta sekitar 30 industri di Jawa Barat.
Jika pemerintah tetap membangun pelabuhan, maka Pertamina Hulu Energi ONWJ serta negara berpotensi kehilangan pendapatan Rp 130 trilyun dan Pertamina EP sebesar Rp 1,4 trilyun, kemudian PLN sebesar Rp 5.540.700.000 (Rp 5,5 milyar) per hari karena pasokan gas ke Pembangkit Muara Karang dan Tanjung Priok terhenti, dan PT Pupuk Kujang Rp 6.125.000.000 (Rp 6,1 milyar) per hari.
Sumber: Gatra.com