KECELAKAAN pesawat AirAsia QZ8501 mengejutkan semua pihak, bagaimana tidak dalam kurun waktu satu tahun, telah terjadi tiga kali kecelakaan yang menewaskan seluruh penumpang dan kru pesawat. Ketiganya adalah maskapai milik negeri Jiran Malaysia.
Raibnya pesawat MH370 pada bulan Maret disusul pesawat MH17 yang tertembak di Ukraina pada Juli menambah panjang rangkaian tragedi kecelakaan pesawat milik Negara Malaysia.
Pesawat AirAsia QZ8501 ini rencananya bertolak dari Surabaya menuju Singapura namun karena cuaca buruk pesawat naas ini jatuh di selat Karimata Pangkalan Bun Kalimantan Tengah.
AirAsia dan Malaysia Airlines melakukan pendekatan yang berbeda saat menghadapi bencana jatuhnya pesawat. Air asia terlihat sangat sigap dan cepat namun tak demikian dengan Malaysia Airlines.
Terbukti hingga saat ini Malaysia Airlines yang raib belum juga diketemukan, belum lagi penanganan dan informasi yang tidak jelas membuat keluarga korban mengamuk. (Baca: Kerabat Penumpang MH370 mengamuk lagi)
“Respon Malaysia Airlines terlihat kurang cepat di jam awal terjadinya bencana, transparansi dalam memberikan informasi dan koordinasi dirasa kurang “ ujar AdAge seperti dikutip dalam laman Prdaily. Sementara itu, Skift.com yang memuji AirAsia, mengatakan “Respon awal terhadap tragedi itu adalah contoh tentang bagaimana berkomunikasi dalam krisis.”
Bahkan tak berselang lama setelah kecelakaan terjadi, sebuah kabar berhembus di media terkait persoalan izin terbang. Dimana dikabarkan bahwa AirAsia tidak memiliki ijin terbang di hari naas tersebut.
Namun sekali lagi Airasia terbukti sigap menghadapi apapun berita negatif yang menghantam perusahaan. Langkah yang dipilih oleh perusahaan adalah diam sebentar sebelum mengeluarkan pernyataan berikut:
” Seperti yang Anda ketahui, pemerintah Indonesia telah menghentikan QZ8501 penerbangan kami dari Surabaya ke Singapura [dan] sebaliknya. Untuk tujuan itu, pemerintah sedang melakukan proses evaluasi untuk menyelidiki. Manajemen AirAsia akan sepenuhnya bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam proses evaluasi. Dalam hal kita, manajemen AirAsia, tidak akan membuat komentar pada periode proses evaluasi sampai hasil evaluasi telah diumumkan.”
Kesigapan AirAsia dalam menghadapi krisis ini tak lepas dari tangan Tony Fernandes, CEO AirAsia. Sebuah tindakan ksatria telah dilakukan Tony di jam-jam awal setelah pesawat dinyatakan hilang kontak dengan menara ATC.
Komunikasi krisis yang dilakukan Tony pertama adalah saat dirinya langsung terbang ke Surabaya dan menyatakan empatinya kepada keluarga korban dengan memberikan pernyataan, ” Saya minta maaf sebesar-besarnya atas apa yang mereka alami. Saya pemimpin perusahaan ini dan saya harus bertanggung jawab.”
Sebuah tragedi besar yang terjadi di perusahaan, dia hadapi sendiri dan tidak diwakilikan. Mengakui kesalahan dan meminta maaf dan siap bertanggung jawab. Sebuah tindakan komunikasi krisis yang patut diacungi jempol. RWD