ARBITRASE berhak memeriksa dan mengadili perkara sengketa antara PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempira (PHE RT) dan PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI). “Semua akan menuju pada kontrak, kalau kontraknya (sepakat diselesaikan, Red.) di arbitrase, maka menjadi wewenang arbitrase. Prinsipnya begitu,” kata pengamat hukum bisnis Ricardo Simanjuntak, di Jakarta, Rabu (13/1).
Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehingga menjadi kewenangan absolut. Selain itu, Pasal 11 yang menegaskan, kedua belah pihak tidak bisa menyelesaikan sengketa di pengadilan negeri jika kedua belah pihak telah sepakat menyelesaikannya di arbitrase, sehingga menjadi kewenangan absolut (kompetensi absolut) badan arbitrase.
“Secara teori, Pasal 3 dan 11 UU Arbitrase itu berdasarkan ketentuan kontrak. Petunjuknya dua pasal itu. Makanya harus lihat dulu klausul kontraknya,” kata Ricardo.
Menurut Himahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), gugatan ke pengadilan adalah upaya menghindari penyelesaian di arbitrase jika dasar gugatannya bukan perbuatan melawan hukum (PMH).
“Dasarnya dugaan saya perbuatan melawan hukum. Sementara PHE RT mau menyelesaikan permasalahan mereka berdasarkan perjanjian. Mungkin dalam perjanjiannya arbitrase,” katanya.
Atas dasar itu, hakim pengadilan harus melihat apakah dasar gugatan GSEI perbuatan melawan hukum atau bukan. Sedangkan jika wanprestasi atau beda pendapat dari ketentuan perjanjian kerja sama serta ada klausul arbitrase, maka seharusnya diselesaikan di arbitrase.
Namun jika akhirnya dua lembaga menangani perkara tersebut, maka hanya tinggal menunggu putusan. Sedangkan soal potensi perbedaan putusan, menurut Hikmahanto, karena pengadilan tidak bisa menolak permohonan perkara jika dasarnya PMH.
“Itu harus dijalankan, karena pengadilan tidak bisa menolak, karena mungkin dia menggunakan PMH. Kalau datanya PMH, tidak bisa pengadilan menolak, tapi kalau dasarnya bukan PMH, pengadilan bisa menolak karena itu dasar pengadilan arbitrase,” tandasnya.
Namun jika dalam perjanjian kedua belah pihak telah sepakat akan menyelesaikan perkara di arbitrase, maka hal itu merupakan hak arbitrase sesuai dengan kewengan absolut pengadilan arbitrase sebagaiman diatur Pasal 3 dan 11 UU Nomor 30 Tahun 1999.
“Ya harusnya arbitrase, makanya harusnya hakim melihat itu, apakah masalah ini sumbernya dari perjanjian atau bukan. Apakah ini merupakan upaya untuk menghindari arbitrase atau tidak. Pasal itu bisa dijadikan hakim untuk menolak,” tandasnya.
GSEI menggugat PHE RT ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena mengganggap termohon wanprestasi karena tidak melaksanakan seusa dengan kontrak kerjasama di JOB P-GSIL yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase.
PHE RT yang tidak terima dengan putusan pengadilan pun menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena beralasan sudah melaksanakan sesuai kontrak pengelolaan sumbermigas di wilayah Provinsi Jambi itu.
Selain itu, PHE RT menggugat balik GSEI di arbitrase International Court of Chambers (ICC) pada 5 November 2014, karena merasa kedua belah pihak telah sepakat menyelesaikan di arbitrase.
Forum arbitrase sudah memberikan kesempatan kepada GSEI untuk menjawab permohonan gugatan itu hingga 12 Desember 2014. Namun, sampai tenggat waktu yang telah ditentukan, GSEI tidak menyampaikan tanggapan, sehingga proses arbitrase tetap berjalan tanpa kehadiran GSEI (in absentia/default process).
ICC selanjutnya akan menentukan arbiter yang mewakili pihak GSEI, tempat arbitrase, dan bahasa yang akan digunakan dalam proses arbitrase.
Sumber: Gatra.com