MAJELIS hakim yang menangani perkara sengketa antara PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI) dan PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT), bisa diadukan ke Komisi Yudisial (KY) karena diduga sarat penyimpangan.
Jika KY menilai bahwa perilaku hakim menyimpang, maka KY bisa memberi rekomendasi kepada Mahkamah Agung (MA) untuk memberikan sanksi. Perilaku yang dimaksud, misalnya menerima suap yang membuatnya menabrak UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Demikian disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/2).
Menurut dia, terkait siapa yang bisa mengadukan, tentu saja pihak yang merasa dirugikan. Jika pihak tersebut memiliki bukti kuat tentang adanya dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, maka mengadukan kepada KY adalah salah satu alternatif.
Terlebih, menurut Hendardi, jika terdapat kerugian negara di dalamnya dan bahkan jika memang terdapat indikasi penyuapan kepada hakim, PHE RT pun bisa mengadukan ke KPK.
“Perlawanan harus dilakukan dengan segala upaya. Banyak contoh hakim yang ditangkap KPK karena menerima suap,” lanjutnya.
Seperti diberitakan, dalam kasus ini, GSEI mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan klaim ganti rugi atas kegiatan sole risk yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Upaya itu dinilai melanggar UU Nomor 30 Tahun 1999 karena di dalam kontrak kerja samanya sudah disebutkan, jika terjadi sengketa, maka akan diselesaikan melalui jalur abitrase di International Court of Chambers (ICC).
Namun, bukan hanya menyatakan tidak berwenang menangani dan menyerahkan kepada arbitrase, majelis hakim justru mengabulkan sebagian gugatan. Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan PHE RT untuk membayar kepada GSEI sebesar US$ 125 juta atau setara dengan Rp 1,5 triliun. Saat ini, perkara tersebut sedang diperiksa pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sementara itu, Nisa Istiani, pakar arbitrase Universitas Al Azhar yang juga peneliti senior pada Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan, kasus tersebut akan menjadi sorotan publik karena besarnya nilai potensi kerugian negara. Untuk itu, kata dia, sudah pada tempatnya jika Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung menaruh perhatian besar.
Makanya sangat riskan, lanjut Nisa, jika peradilan yang lebih tinggi tersebut tidak membatalkan keputusan PN Jakpus. “Apalagi Mahkamah Agung juga tidak jarang membatalkan kasus serupa (jika memang melanggar UU arbitrase – Red) ,” kata Nisa.
Menurut Nisa, keputusan yang dibuat PN Jakpus itu memang bertentangan dengan UU Nomor 30/1999. Sebab, berdasarkan Pasal 3 dan 11 UU arbitrase tersebut, perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Dan pengadilan negeri, katanya, tidak berwenang dan wajib menolak serta tidak campur tangan atas penyelesaian sengketa seperti itu.
Sumber: Beritasatu.com