PENYELESAIAN sengketa melalui jalur arbitrase dinodai dengan pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).
Sengketa antara PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI) dan PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) yang merupakan anak perusahaan Pertamina, seharusnya merupakan kewenangan arbitrase telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perkara tersebut, terkait kontrak kerja sama di bidang hulu migas di wilayah kerja Raja Tempirai berbentuk yang dioperasikan oleh joint operating body (PSC-JOB).
Seperti disampaikan Supriyadi, Senior Manager Legal PHE, dalam kasus tersebut Golden Spike mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan klaim ganti rugi atas kegiatan sole risk. Periode yang diklaim GSEI sebagai sole risk adalah sejak ditandatanganinya Kontrak Kerja Sama (PSC) yaitu pada 6 Juli 1989 sampai dengan Juli 2001. Namun sesuai perjanjian PSC (kontrak bagi hasil migas), masa tersebut adalah masa eksplorasi dimana sesuai PSC JOB, GSEI wajib menanggung sendiri seluruh biaya eksplorasi dan pengeboran dan Pertamina/PHE RT mengembalikan biaya eksplorasi yang menjadi porsi kewajibannya setelah tercapainya produksi komersial dari porsi bagian produksi Pertamina/PHE RT.
“Kegiatan sole risk yang didalilkan GSEI dalam gugatannya sebenarnya tidak pernah terjadi dan sangat mengada-ada, karena GSEI mengklaim biaya eksplorasi dan pengeboran yang dikeluarkan GSEI pada masa eksplorasi dimana biaya tersebut menjadi kewajiban GSEI seluruhnya. Seluruh biaya tersebut sebenarnya sudah dikembalikan seluruhnya dari produksi bagian Pertamina sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam perjanjian PSC. PHE RT telah dapat membuktikan di pengadilan bahwa tidak ada kewajiban dalam bentuk apapun dari PHE RT kepada GSEI. Biaya eksplorasi dan pengeboran ditambah denda sole risk yang diklaim oleh GSEI tanpa adanya fakta dan bukti tersebut sebesar US$ 299 juta ditambah kerugian immaterial sebesar US$ 300 juta, sehingga total klaim dalam gugatan GSEI terhadap PHE RT sangatlah menggiurkan, yaitu sebesar USD 599 juta,” katanya dalam diskusi publik bertajuk, Stop! Pelanggaran UU Arbitrase, yang diadakan di Hotel Bidakara.
Anehnya, lanjut Supriyadi, gugatan yang mengada-ada dan tanpa didukung fakta dan bukti apapun tersebut yang seharusnya ditolak, justru dikabulkan PN Jakarta Pusat walaupun hanya sebagian, yaitu sekitar US$ 125 juta atausetara Rp1,5 triliun, yang perhitungannya pun sangat mengada-ada dan tidak berdasar. “Apabila gugatan yang telah dikabulkan PN Jakarta Pusat itu terus dikuatkan sampai tingkat akhir (Mahkamah Agung), maka hal tersebut akan sangat merugikan PHE RT yang sekaligus juga akan merugikan negara karena PHE RT adalah anak perusahaan BUMN,” lanjutnya sembari menambahkan, bahwa saat ini, tingkat banding perkara tersebut masih berjalan di PT DKI Jakarta.
Lebih jelas lagi, sambungnya, upaya GSEI yang menggugat PHE RT ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut sangat jelas melanggar UU Nomor 30/1999, terutama Pasal 3 dan 11. Karena, di dalam kontrak kerja sama tersebut (PSC), disebutkan, jika terjadi sengketa apapun harus diselesaikan arbitrase pada International Chamber of Commerce (ICC).
Narasumber lain yang juga Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan, “Ini merupakan kasus yang luar biasa dan bisa berdampak serius bagi Indonesia. Seharusnya, Pertamina bisa menjadi perusahaan internasional, namun terganggu dengan adanya kasus-kasus seperti ini. Jangan sampai negara kita bangkrut! Ini tidak main-main. Hakim harus sensitif melihatnya.”
Hikmahanto melihat, bahwa pengadilan negeri memang tidak memiliki kewenangan menangani kasus ini. Apalagi, yang digugat sebenarnya bukan perbuatan melawan hukum (PMH), namun sudah tertera pada perjanjian kesepakatan, yakni masalah wanprestasi. “Hakim peradilan umum sebenarnya tidak berwenang menangani,” katanya.
Narasumber lain, mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga, pelanggaran atas UU Arbitrase sangat menyedihkan dan mencoreng muka Indonesia di dunia internasional. “Pelanggaran ini juga berpotensi menggangu iklim investasi,” katanya.
Di sisi lain, Benjamin dengan tegas menyatakan, tak habis pikir mengapa masih ada hakim peradilan umum yang menangani perkara arbitrase. Padahal, selain perundang-undangan sudah terang-benderang, yurisprudensi untuk masalah ini juga teramat banyak. “Hakim jangan pura-pura tidak tahu. UU kan sudah jelas melarang mereka menangani sengketa, yang seharusnya ditangani badan arbitrase,” katanya.
Begitupun Benjamin yakin, meski pengadilan negeri mengabulkan sebagian permohonan, namun pada tingkat yang lebih tinggi, baik banding maupun kasasi, putusan itu akan dimentahkan. “Saya yakin, 99,99 persen bahwa keputusan pengadilan negeri akan dibatalkan. Alasannya sudah jelas, karena memang bertentangan dengan UU Arbitrase,” katanya. (*)