DALAM rangka meningkatkan kualitas dan jumlah penonton film nasional, gedung bioskop dinilai memiliki hak untuk melakukan seleksi pada film-film yang akan diputar. Ibarat warung atau toko buku, pemilik tentunya akan menaruh barang terbaik sebagai dagangannya.
Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmodjo setuju jika gedung bioskop melakukan seleksi tersebut. Dan menurutnya kewenangan itu, jelas menjadi kewenangan gedung.
“Ini analog dengan toko buku yang berhak menolak buku-buku yang dianggap jelek,” kata Kemala.
Sekjen Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) Ody Mulya Hidayat juga setuju dengan usulan seleksi. Tetapi ia berpendapat seharusnya semua film nasional mendapat kesempatan tayang di bioskop.
Baca Juga: Pembatasan Film Impor Bukan Solusi, Filmmaker Dituntut Perbaiki Kualitas Film Nasional
“Jika penonton tak bagus ganti layarnya,” kata Ody yang merupakan salah satu produser paling produktif di balik bendera Maxima Mictures.
Bioskop dinilai berwenang sebagai penyeleksi, karena akan berjalan lebih “fair”. Sedangkan jika seleksi dilakukan oleh badan baru yang dibentuk, justru akan menimbulkan efek samping, karena ujung-ujungnya bisa menjadi ajang negosiasi.
“Jadi, silakan bioskop sendiri yang menyeleksi dan mengatur, sesuai dengan kebijakan yang dimiliki bioskop,” katanya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin, mengatakan usulan tersebut bisa menjadi jalan keluar atas persoalan rendahnya kualitas film nasional, yang berimbas pada rendahnya tingkat penonton film nasional. “Untuk itu saya setuju adanya seleksi yang dilakukan oleh bioskop. Itu penting dicatat!” tandasnya.
Djonny mengatakan, buruknya kualitas film memang menjadi penyebab minimnya minat penonton film nasional. Untuk itu dia mengatakan, kunci utama untuk meningkatkan animo penonton film adalah kualitas, yang antara lain bisa dilakukan melalui seleksi. “Jika film-film Indonesia yang diproduksi berkualitas, meski dari sisi kuantitas tidak terlampau banyak, namun bisa meningkatkan jumlah penonton,” kata Djonny.
Djonny juga menepis tudingan bahwa tidak ada rasa nasionalisme hanya karena lebih mengutamakan film-film impor ketimbang film nasional. Padahal, lanjut Djonny, bioskop di Indonesia sebenarnya memberi kesempatan banyak kepada film nasional, namun justru hal itu menurunkan jumlah penonton.
“Apanya yang tidak nasionalis? Pernah bioskop menghentikan jadwal tayang film asing, meski masih berpotensi meraup banyak penonton, yakni sekitar 400 penonton. Sebagai gantinya, ditayangkan film nasional. Namun kenyataannya, film tersebut ternyata hanya ditonton oleh 30-an orang,” katanya.
Di sisi lain, Corporate Secretary jaringan bioskop XXI Catherine Keng setuju bahwa penonton film tidak bisa didikte. Menonton film, lanjut Catherine, dilakukan ketika si penonton memiliki waktu luang yang sangat terbatas. Artinya, dalam waktu sesempit itu, tentu saja penonton akan memilih film terbaik menurut dirinya. Dan faktanya, ternyata tidak banyak yang memilih film nasional. Itu artinya, bahwa dari sisi kualitas, memang harus ditingkatkan.
Namun ia kadang mengalami kendala dalam menghadapi para produser film dengan berbagai macam karakter. Menurut Catherine, selama ini jaringan bioskop XXI kerap terganggu dengan desakan produser yang meminta tanggal, meskipun kadang belum memiliki judul untuk filmnya.
Sumber: Detik.com