BEBERAPA pekan lalu publik dikejutkan oleh sebuah video viral tentang pengusiran penumpang pesawat milik maskapai penerbangan Amerika Serikat, United Airlines. David Dao, seorang dokter asal Kentucky dipaksa turun dengan cara yang kasar dan arogan yang menyebabkan beberapa bagian tubuhnya terluka dan berdarah. Video berdurasi kurang dari 1 menit ini pun spontan mendapat kecaman dan memicu amarah nitizen.
Tak berselang lama, insiden serupa kembali dialami dua orang penumpang pesawat milik negeri paman sam ini. Adalah Michael Hohl dan tunangannya, Amber Maxwell yang hendak terbang ke Kosta Rika untuk menikah juga dipaksa turun dari pesawat. Satu minggu kemudian, United Airlines lagi-lagi menjadi pemberitaan utama media karena salah seorang penumpangnya disengat kalajengking di dalam kabin pesawat.
Rangkaian insiden buruk yang dialami penumpang Maskapai ini, tak ayal memberi dampak buruk pada citra perusahaan. Bahkan kabarnya saham maskapai penerbangan ini langsung anjlok. Hukuman dari warga dunia maya ini tidak bisa dianggap remeh. Insiden yang berturut-turut ini membentuk persepsi buruknya manajemen United Airlines.
Bruce Y Lee, salah seorang kontributor majalah Forbes seperti dikutip dari PR Daily, Rabu (26/4/2017) menyatakan bahwa semua peristiwa yang menimpa United Airlines bukan teriolasi melainkan bagian dari empat tren yang sedang berkembang di Amerika Serikat saat ini yaitu memburuknya kondisi penerbangan di perusahaan penerbangan di AS, meningkatnya tindak kekerasan dan kebencian, penumpang yang membawa smartphone, dan berbagi di media sosial.
“Kombinasikan tren ini, maka akan semakin banyak video penerbangan buruk untuk muncul dan menjadi viral.”tutur Lee.
Melihat bagaimana manajer brands serta PR pro mengatasi hal ini, Lee memberikan beberapa tips yang perlu dipertimbangakan saat menghadapi situasi krisis seperti yang dialami United Airlines atau krisis serupa.
Mendidik karyawan mengenai kebijakan layanan pelanggan yang tepat dan nilai-nilai organisasi.
Saat kondisi maskapai penerbangan (dan industri layanan pelanggan lainnya) memburuk, PR pro harus membantu staf mengasimilasi nilai-nilai organisasi sehingga mereka dapat merespons dengan benar dalam situasi sulit – apakah itu penerbangan berlebih, atau pelanggan yang marah berteriak ke kasir.
Lee menambahkan, menurut data yang dilaporkan NBC News, kejahatan akibat kemarahan, kebencian, konfrontasi dan kekerasan di AS meningkat 20 persen pada tahun 2016 dan ini dipicu oleh pemilihan Presiden. Airlines perlu berhati-hati bawah pesawat terbang bisa menjadi katalis tambahan atau titik pelepasan untuk menyulut kemarahan.
Bantulah karyawan Anda untuk memperlambat atau menghentikan pertengkaran ini, alih-alih memicu atau mempercepatnya. Karyawan Anda adalah sumber cerita terbaik di organisasi Anda, tapi itu bisa dengan cepat berbalik melawan Anda saat mereka menjadi penjahat dalam kisah tersebut.
Latihlah semua orang di organisasi Anda agar siap menghadapi media.
Hampir semua orang termasuk penumpang/pelanggan memiliki smartphone yang terkoneksi ke berbagai platform media sosial. Itu berarti dalam hitungan detik, karyawan dan tindakan mereka dapat langsung terlempar ke dalam virality – dan menghadapi massa media sosial.
Bukan lagi hanya eksekutif organisasi Anda yang harus menerima pelatihan media, tapi siapa pun yang secara teratur bertemu dengan pelanggan.
Karyawan Anda tidak harus siap untuk mengadakan konferensi pers, namun mereka harus tahu bagaimana merespons (atau tidak menanggapi) kepada pelanggan yang marah dan masalah lain yang mungkin timbul. Hal ini dapat membantu membangun kepercayaan dan kesetiaan dengan pelanggan Anda, serta meminimalkan adegan sensasional yang dapat dengan cepat membuat putaran secara online.
Fokus pada manajemen reputasi.
“Pepatah ‘satu ons pencegahan bernilai satu pon penyembuhan’ berlaku untuk krisis PR” ungkap Lee.
Komunikator harus berada di depan bencana reputasi dan membimbing narasi, baik melalui pernyataan dan tindakan mereka (termasuk menjelaskan rencana untuk memperbaiki masalah tersebut). Jika tidak, mereka berisiko melepaskan cerita dari mereka, seperti dalam kasus United. Begitu para jurnalis – dan pengguna media sosial – menetapkan panggung, ini akan menjadi perjuangan berat untuk membendung persepsi dan reaksi negatif.
Krisis ini mungkin akan segera menjadi berita utama, namun dapat merusak reputasi Anda secara online lama setelah tim PR Anda menyelesaikan pembersihannya, memerlukan waktu dan sumber daya tambahan untuk menyimpan cerita dan ulasan negatif agar tidak menghasilkan hasil terbaik di mesin telusur.
ReputationDefender melaporkan bahwa 92 persen konsumen mengatakan menemukan sesuatu yang negatif melalui pencarian online akan mempengaruhi persepsi mereka, dan 82 persen konsumen mengatakan bahwa mereka mempercayai hasil pemeringkatan halaman pertama search engine.
Cara terbaik untuk menghindari persoalan ini adalah dengan memiliki rencana komunikasi krisis, yang secara teratur memantau percakapan media sosial dan bersiap menanggapi dengan cepat setiap insiden yang mungkin mengancam citra organisasi Anda.