MURAHNYA harga bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin dengan oktan 89 yang dijual di SPBU dibanding premium milik PT Pertamina menuai polemik.
Di samping itu, pemicunya adalah karena pemerintah juga dinilai tidak konsisten dengan garis kebijakan yang sudah ditentukan, salah satunya soal keinginan agar Indonesia bebas dari bahan bakar kualitas rendah.
Di saat negara lain ingin menggunakan bensin standar EURO IV maupun EURO V, Indonesia masih belum bisa move on dari EURO 2. Padahal, Pertamina sudah didorong untuk menghasilkan BBM Euro V di kilang Balikpapan.
Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, tetap beredarnya BBM beroktan rendah menjauhkan mimpi Indonesia mengurangi produksi karbon sampai 26 persen pada 2030.
’’Negara lain berjibaku lolos EURO III dan EURO IV, Indonesia masih saja dengan EURO II karena meloloskan BBM RON rendah,’’ ujarnya dalam keterangan yang diterima JawaPos.com, Jumat (24/11/2017).
Adapun bertambahnya SPBU yang menjual BBM oktan rendah, menambah jumlah pengguna BBM kelas bawah. Padahal, selama ini Pertamina sudah mati-matian menekan pengguna premium dengan meluncurkan pertalite.
’’Apalagi, Menteri ESDM dan jajarannya menyambut gegap gempita SPBU tersebut,’’ tuturnya.
Apabila dibandingkan dengan negara tetangga yang tak lagi menjual Oktan 88 atau 89, Tulus menyebut Indonesia telah berjalan mundur. Terlebih, diyakini produk beroktan 89 itu sebenarnya memiliki spesifikasi sama dengan oktan 88.
Yang membedakan, hanya menjadi booster supaya oktan naik jadi 89. Sorotan lain, SPBU asing beroperasi di Jakarta yang pangsa pasarnya sangat besar. Padahal, pemain baru bisnis ritel migas perlu didorong untuk beroperasi di daerah remote.
Karena itu, penting untuk mendukung program kebijakan satu harga untuk BBM di seluruh Indonesia.
“Di daerah, masyarakat jauh lebih membutuhkan karena masih minimnya infrastruktur SPBU,” sebutnya.
Sumber: Riaupos