Kementerian Pertanian menargetkan seluruh pelaku usaha sawit, baik rakyat maupun swasta, wajib memiliki sertifikat ISPO pada 2023. Kepemilikan terhadap sertifikat ISPO ini dianggap dapat meningkatkan nilai jual dan menjaga kepercayaan dunia terhadap kelapa sawit. Selain itu, sertifikat ISPO juga menunjukkan bahwa pelaku usaha sawit juga ikut melakukan usaha ramah lingkungan.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengakui bahwa terdapat beberapa kendala dalam pengurusan ISPO. Namun, pihaknya kini tengah melakukan beberapa usaha pembenahan.
“Seperti akhir tahun ini, Kementan akan melakukan pendataan total terhadap kawasan perkebunan kelapa sawit. Dengan membereskan semua datanya kan, baru kita tahu berapa banyak yang masuk ke kawasan,” ujarnya.
Sedangkan, kendala teknis lain seperti legalitas lahan dan persoalan tumpang tindih juga dikatakan bisa memperlambat penerapan ISPO. Untuk itu, pemerintah juga telah mengeluarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 sebagai jalan keluar menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda pengurusan sertifikat ISPO.
“Kami targetkan mudah-mudahan seratus persen ISPO pada tahun 2023 mendatang bisa terwujud,” kata Bambang, Jumat (09/11).
Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa sampai saat ini, baru 2,35 juta hektare kawasan yang tersertifikasi ISPO dari sekitar 13,03 juta hektare. Ini berarti baru 20,5 persen yang mengantongi sertifikat. Sisanya, masih ada sekitar 79,5 persen yang masih harus disertifikasi.
Untuk saat ini, Kementerian Pertanian akan fokus di beberapa wilayah, yakni Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan sebagian di Papua. Bambang optimis karena sejak diberlakukan mulai tahun 2011, sudah ada 695 pelaku usaha yang telah berpartisipasi mendaftar ISPO yang terdiri atas 683 perusahaan, delapan KUDIKSU Kebun Plasma, satu BUMDes dan tiga Koperasi Asosiasi Kebun Swadaya.
Sumber: Republika.co.id